Minggu, 11 Oktober 2009

Kampung Pecah Kulit, Jakarta

Kampung Pecah Kulit terletak di tepi Jacatra-weg (kini Jalan Pangeran Jayakarta). Pada awal abad ke-20 orang dengan mudah menemukan lokasi kampung ini, karena ada tugu berupa sebuah dinding tembok sepanjang sekitar 8 meter. Tugu itu "sebagai kenangan mengerikan dari hukuman terhadap pengkhianat Pieter Erberveld". Di tembok itu tertulis sebuah maklumat dalam bahasa Belanda dan Jawa, yang isinya melarang selama-lamanya untuk mendirikan bangunan atau menanam tumbuh-tumbuhan di tempat itu. Yang menyeramkan, pada tugu itu ada sebuah (patung) tengkorak manusia dengan tombak yang menembusnya. Tugu ini sekarang sudah dibongkar dan dipindahkan ke Taman Prasasti di Tanah Abang.

Kampung Pecah Kulit memang tidak bisa dipisahkan dari Pieter Erberveld, seorang warga Betawi yang oleh kumpeni difitnah bersekongkol untuk melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap bangsa Eropa di Betawi. Ia juga dituduh menghasut orang Jawa di Betawi untuk berontak. Bersama dengan beberapa orang pribumi yang dianggap sebagai kaki tangannya dia dihukum secara sangat biadab pada bulan April 1722. Tidak seperti biasanya, hukuman terhadap Pieter Erberveld itu dilakukan "di sebuah lapangan sebelah selatan kastil", bukan di depan kastil seperti biasanya. Menurut cerita penduduk Betawi, hukuman itu sangat kejam. Tangan dan kakinya diikat pada empat ekor kuda, dan kemudian kuda itu dilarikan ke empat penjuru, hingga tubuhnya terbelah dan bercerai-berai. Itulah sebabnya lokasi tempat pelaksanaan hukuman itu kemudian dinamakan orang Kampung Pecah Kulit.

Prof Godee Molsbergen dalam tulisannya De Nederlandsch Oostindische Compagnie in de Achtiende eeuw secara lebih rinci mengungkapkan pelaksanaan hukuman terhadap Pieter dan kawan-kawannya: "Punggung mereka diikat pada sebuah salib, tangan kanan dibacok sampai putus, lengan dijepit, daging kaki atau dada dicungkil keluar. Tubuh lalu dibelah dari bawah ke atas. Jantung dikeluarkan dan dilemparkan ke wajah mereka. Kepala dipancung, badan dipotong-potong lalu disebarkan di sekitar tempat kediaman mereka. Kepala mereka ditancapkan pada sebuah tonggak di sebuah tempat di luar kota menurut keputusan pemerintah. Maksudnya agar menjadi makanan burung-burung."

Agaknya kumpeni tidak cukup puas dengan hukuman itu, karena masih ada "hukuman" lain: rumahnya diratakan dengan tanah, dan 8 hari sebelum hukuman mati itu dilaksanakan, sebuah tugu peringatan dari batu didirikan pada tempat itu.

Siapa Pieter Erberveld dan mengapa kumpeni begitu geram kepadanya? Pieter Erberveld merupakan seorang blasteran (Indo-Eropa), dengan ayah seorang Jerman kaya serta ibu bangsa Siam. Sang ayah, Peter Erverveld, yang berasal dari Kota Elberfeld (Jerman) yang ketika tiba di Betawi bekerja sebagai penyamak kulit dan tidak bisa membaca menulis. Tetapi karena kepandaiannya ia kemudian terpilih menjadi Wakil Ketua Heemraad, yaitu badan yang mengurusi tanah-tanah kumpeni di sekitar Ancol. Dengan jabatan itu Erberveld tua menjadi tuan tanah yang sangat kaya, dan harta bendanya kemudian diwariskan kepada Pieter.

Belakangan Pieter memiliki rasa tidak senang kepada kumpeni yang sangat serakah itu. Ia pernah berselisih dengan Heemraad perihal tanah Pondok Bambu yang diwarisi dari ayahnya. Karena ia tidak memiliki akta notaris, akhirnya kumpeni memutuskan, tanah Pondok Bambu harus dikosongkan. Bahkan Pieter diwajibkan menyerahkan 3.300 ikat padi, karena ia dianggap menjadi penyewa dari tanah itu. Belakangan tanah itu oleh Gubernur Jendral Van Hoorn dinyatakan sebagai milik kumpeni. Sebaliknya banyak pembesar kumpeni yang tidak senang pada Pieter, dan menganggap ia sebagai tukang bikin perkara. Dari sinilah tumbuhnya kecurigaan terhadap Pieter.

Kecurigaan itu dipicu oleh meledaknya sebuah petasan yang jatuh di Benteng Zeelandia. Pembesar kumpeni menangkap sejumlah orang Jawa yang dicurigai. Di rumah Raden Kartadriya polisi menemukan 12 potong tembaga, yaitu jimat yang berasal dari Pieter. Kenyataan ini menyebabkan Pieter dianggap akan memberontak. Padahal tidak ada bukti-bukti yang mendukung. Paling-paling pengakuan dari saksi-saksi, yang terpaksa diberikan untuk menghindari penyiksaan dalam pemeriksaan. Prof Godee Molsbergen yang meneliti perkara ini menemukan banyaknya ketidakwajaran dalam proses pengadilan itu. Tetapi memang demikianlah perilaku kumpeni yang dibayangi ketakutan akan tumbangnya kekuasaannya.

(Adit SH, sejarawan dan pengamat sosial, tinggal di Jakarta)

dikutip dari : Kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar